MANAJEMEN DIRI
Dewasa ini teori-teori tentang soft competence  semakin populer dan sering dibahas. Hal-hal yang berkaitan dengan  motivasi dan kepribadian menjadi topik menarik dan dianggap krusial  untuk kemajuan pribadi maupun organisasi. Boleh jadi ini disebabkan  karena orang semakin menyadari arti penting soft competence bagi pengembangan diri maupun organisasi; bahwa sehebat apapun hard competence  yang dimiliki seseorang belum menjamin kesuksesannya dalam pekerjaan.      Hal ini dapat diumpamakan seperti IQ yang tidak lebih penting dari EQ  maupun SQ. Ada beberapa fakta yang memperlihatkan bahwa kesuksesan yang  dicapai seseorang —yang pada gilirannya berdampak pada kesuksesan  organisasi— justru lebih dikarenakan oleh baiknya EQ yang dimilikinya.  Sebut saja nama-nama seperti Thomas Alfa Edison dan Andrie Wongso yang  tidak mengenyam pendidikan tinggi namun berhasil memberi kontribusi  besar bagi dunia keilmuan.
Senada dengan itu, adalah Soft Competence yang memungkinkan orang tetap mampu berbuat meskipun memiliki dan mengalami berbagai kekurangan, keterbatasan maupun hambatan. Soft Competence pula yang memungkinkan para pegawai memiliki integritas dalam melaksanakan tugasnya.
Salah  satu materi yang menjadi topik bahasan dalam soft competence adalah  Manajemen Diri. Di BPPK, Manajemen Diri secara khusus menjadi satu mata  pelajaran dalam Diklat Account Representative Pusdiklat Perpajakan.  Artikel ini secara singkat menyajikan beberapa poin penting dalam materi  Managemen Diri.
1. Definisi Manajemen Diri
Apa itu manajemen diri?
Menurut  Gede Prama, manajemen diri merupakan pengendalian diri terhadap  pikiran, ucapan, dan perbuatan yang dilakukan, sehingga mendorong pada  penghindaran diri terhadap hal-hal yang tidak baik dan peningkatan  perbuatan yang baik dan benar.
Sedangkan Udo Yamin Efendi mendefinisikan manajemen diri sebagai sebuah proses merubah “totalitas diri” —intelektual, emosional, spiritual, dan fisik— kita agar apa yang kita inginkan (sasaran) tercapai.
Menurut penulis, secara sederhana, manajemen diri dapat diartikan sebagai suatu upaya mengelola diri sendiri ke arah yang lebih baik sehingga dapat menjalankan misi yang diemban dalam rangka mencapai tujuan.
Ketiga pengertian diatas mengindikasikan bahwa manajemen diri diperlukan bagi seseorang agar mampu menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkualitas dan bermanfaat dalam menjalankan misi kehidupannya. Manajemen diri membuat orang mampu mengarahkan setiap tindakannya kepada hal-hal positif.
2. Tujuan eksistensi manusia
Hakikat eksistensi manusia  adalah untuk mengelola sumber-sumber daya yang ada di bumi ini,  termasuk manusia di dalamnya, untuk kesejahteraan manusia itu sendiri.  Karenanya  Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk dan fasilitas yang sempurna  dibandingkan mahluk lainnya. Dengan fasilitas akal, panca indra, hati,  dan lain lain yang dimilikinya, manusia dituntut untuk dapat  berafiliasi, bersinergi dan berkontribusi positif dengan dirinya,  keluarga, masyarakat, negara dan lingkungannya. Ini dilakukan sebagai  wujud ibadah dan rasa syukur kepada Tuhannya.
Tuhan  juga menginginkan masing-masing individu bersinergi dengan manusia  lainnya untuk berkontribusi terbaik dalam mengelola alam ini. Untuk  tujuan itu, Dia mengaruniakan potensi. Setiap orang  sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk dapat mengambil peran  dengan berkontribusi maksimal. Yang membedakan adalah usaha mereka  memaksimalkan potensi tersebut. Potensi merupakan modal yang sangat kuat  untuk merealisasikan cita-cita. Ada sebuah kisah tentang bagaimana  seseorang mampu menggunakan potensinya dengan baik sehingga berhasil  menciptakan sesuatu yang baru. 
Diceritakan,  ada seorang Raja yang memiliki sebuah batu ruby yang sangat indah. Ia  sangat menyayangi batu tersebut dan berniat untuk memberikannya kepada  permaisuri sebagai hadiah ulang tahun. Namun malang, ketika sang Raja  memegangnya, batu tersebut terlepas dari tangannya dan jatuh hingga  menimbulkan retak yang sangat dalam. Lalu sang raja memanggil para ahli  batu untuk memperbaiki batu ruby kesayangannya. Namun tidak seorangpun  yang mampu melakukannya. Suatu saat, seorang laki-laki setengah baya  datang menawarkan diri untuk memperbaiki batu ruby yang retak. Setelah  diizinkan oleh Raja, orang tersebut membawa pulang batu ruby untuk  diperbaiki. Singkat cerita, 2 hingga 3 hari berselang, ia kembali ke  kerajaan sambil membawa batu ruby. Apa yang terjadi? Ternyata, batu ruby  yang retak telah ia pahat menjadi setangkai bunga mawar yang sangat  indah. Sang raja sangat senang menerimanya. Permaisuri merasa bahagia  karena ia sangat menyukai bunga mawar. Atas keberhasilannya, orang  tersebut mendapat hadiah istimewa dari raja.
Kisah  ini memberi pelajaran bahwa dengan usaha keras untuk memaksimalkan  potensi yang dimiliki, seseorang mampu membuat sesuatu yang sudah rusak  sekalipun menjadi barang yang bernilai tinggi. Orang yang mau  memanfaatkan potensi yang ia miliki akan berhasil meraih kesuksesan dan  menguasai masa depan.
3. Berfikir dan Bekerja
Seperti  yang dikutip oleh Agus Prawoto di dalam modul manajemen diri diklat  Account Representative, John Charles Salak membagi kegagalan dalam 2  kelompok. Pertama adalah orang yang berfikir tetapi tidak bekerja, dan  kedua adalah orang yang bekerja tetapi tidak pernah berfikir. Orang yang  hanya berfikir tetapi tidak mau bekerja dapat dianalogikan seperti  seorang pemanah yang menghabiskan waktu untuk membidik sasaran tanpa  sekalipun melepas anak panahnya. Rencana telah dibuat dengan matang  berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang jelas. Bahkan, langkah demi  langkah telah disusun berikut jadwal pelaksanaannya. Sayangnya, rencana  tersebut tinggal rencana di atas kertas yang tidak pernah  direalisasikan. Orang seperti ini tidak akan berhasil mencapai  cita-citanya. Sebaliknya, ia adalah seorang pemimpi yang sangat  menikmati tidur lelapnya.
Sementara  itu, orang yang sibuk bekerja tanpa mau berfikir akan menghabiskan  waktu dan tenaga menghadapi pekerjaannya. Orang seperti ini akan  kehilangan banyak kesempatan yang mungkin dapat meningkatkan kualitas  pekerjaan dan kehidupannya.
Dikisahkan,  seorang penebang kayu yang baru diterima bekerja dan diberikan kapak  oleh majikannya. Pada hari pertama bekerja, ia mampu menebang 8 batang  pohon. Pada hari kedua, dengan usaha yang lebih keras, ia berhasil  menebang 7 batang pohon. Pada hari ketiga ia berusaha lebih keras lagi.  Namun jumlah batang pohon yang berhasil ia tebang semakin sedikit.  Demikian yang terjadi hari demi hari. Merasa berputus asa, si penebang  kayu menjumpai majikannya dan menceritakan kejadian tersebut. Ia  mengeluh karena merasa tidak sekuat dan secakap dahulu lagi. Dengan  sungguh-sungguh sang majikan mendengarkan penuturannya. Setelah si  penebang kayu selesai menceritakan masalahnya, sang majikan bertanya,  ”Kapan terakhir kamu mengasah kapak?” Pertanyaan ini serta merta  menyadarkan si penebang kayu akan kesalahannya. Sejak hari pertama  bekerja, ia selalu disibukkan dengan aktifitas menebang pohon sehingga  lupa untuk mengasah kapak. Bagaimana mungkin kapak yang tumpul dapat  merubuhkan pohon yang besar?
Kenyataannya,  tidak sedikit orang yang menghabiskan waktunya untuk melakukan  pekerjaan, namun tidak memberi kesempatan pada dirinya untuk  meng-upgrade kemampuan dan ketrampilannya. Ia juga seakan-akan  mengenyampingkan arti penting pemeliharaan peralatan yang biasa  digunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Boleh jadi ia merasa bahwa  kesibukan itu merupakan integritasnya terhadap organisasi dimana ia  bekerja. Namun praktek seperti itu justru dapat mengurangi hasil yang  diharapkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu,  rutinitas melaksanakan tugas perlu diimbangi dengan ketersediaan waktu  untuk mempelajari tugas itu sendiri serta upaya untuk meningkatkan  kualitas diri. Ini akan menciptakan profesionalitas yang akan membawa  kepada pencapaian hasil yang maksimal.
Penutup
Tidak  bisa dipungkiri bahwa kesuksesan tidak melulu mengenai kemampuan  teknis-intelegensi seseorang. Tak kalah penting adalah kemampuan  etis-emosional yang dapat mengarahkannya menjadi orang yang memiliki  keluhuran budi pekerti. Manajemen Diri adalah satu dari banyak  kecerdasan yang sangat dibutuhkan untuk menjadi manusia berintegritas  tinggi. 
 Artikel ini disusun oleh :
 Sy. Nani Rahmani, SS.,MSI
 Widyaiswara 
 Balai Diklat Keuangan Medan
Daftar Pustaka
Agus Prawoto, S.H., M.A. Modul Manajemen Diri Diklat Account Representative. Pusdiklat Pajak. Jakarta. 2010.
Gede Prama. Manajemen Diri (self management). klinikotak.blogspot.com. 2009
Udo Yamin Efendi Majdi. Manajemen Diri:Upaya Membangun Karakter (Character Building) Masisir. supraptoe.wordpress.com. 2007
Andrie Wongso.
Terakhir Diperbaharui (Kamis, 30 Desember 2010 02:42)
Source: New feed